Cerita Dewasa Artis Zaskia Gothik 1

SLOT GACOR SLOT GACOR

Cerita Dewasa Artis Zaskia Gothik 1

Masih dengan pekerjaan dan rutinitas yang sama, aku tetap melanjutkan kehidupanku. Sibad dan Gita jarang menghubungiku. Mungkin, karena kesibukannya. Tapi, tidak mengapa. Aku sendiri senang bisa berkenalan dengan mereka.
Dengan tidak adanya mereka, membuatku sedikit merindukan mereka. Tetapi, kontolku perlu istirahat. Aku menghabiskan waktu dengan fokus kerja dan berkumpul dengan temanku.
Selasa malam, aku bersama rekanku. Awan dan Musa melepaskan penat di downtown walk sumarrecon mal bekasi.
Kebetulan, malam ini live musicnya adalah musik Indonesia. Kami duduk di depan kedai kopi excelso.
“Gimana, kerjaanmu disana, Awan?” Tanyaku kepada Awan.
“Seperti biasa, urusan HRD ku agak lancar dibanding kemarin.”
“Grha, kau masih jadi Staff keuangan ‘kan?” Kata Musa.
“Masih. Jangan kau minta traktir kopi ini kepadaku. Aku tahu lubangmu lebih banyak daripada lubang wanita.”
“Kau ini memang pecinta wanita, Grha.” Tambah awan.
“Normal ‘kan? Tapi aku tidak seliar kalian yang menggoda perempuan sana – sini. Office Girl aja kalian embat.”
“Kalau secantik Zaskia Shinta mah bakal diembat abis – abisan.” Musa berkata.
“Zaskia Gotik mana mau jadi office girl kamu. Emang mau berapa lubang lagi kamu buka buat dia.”
Kami tertawa sejenak melepaskan penat yang mendera.
“Tetapi, Zaskia itu cantik loh. Kelewat seksi banget. Gak kebayang kalo goyang itiknya itu. Beuuhhh…..bisa jantungan…..”
“Inget umur, Musa. Tuh, anakmu manggilin kamu.”
“Ah, jangan bawa umur lah. Disini, Awan. Kita masih kalah muda dari Grha.”
“Ah, kalian bisa saja memujiku.”
“Ngomong – ngomong, kau tidak punya gebetan atau cemceman?” Tanya Musa.
“Bahasamu itu pake cemceman segala.” Sela Awan.
Untuk apa aku mencari pacar. Aku sudah menikmati tubuh Sibad dan Gita yang menjadi dambaan setiap lelaki. Aku bisa saja menikmati mereka setiap hari. Namun, urung aku lakukan.
“Musa, Grha. Kebetulan kantorku akan mengadakan Family Gathering. Bintang tamunya kebetulan Zaskia Gotik. Kalian berkenan datang.”
Awan menyerahkan 2 undangan Family Gathering di meja.
“Kami akan datang, Awan. Aku tidak sabar melihat Zaskia Gotik bergoyang.”
“Kau, Grha? Kau akan datang?”
“Aku akan mengambilnya. Jika tidak sibuk, aku akan datang.”
Aku beranjak dari Kursi dan meninggalkan selembar uang seratus ribuan dan Voucher.
“Aku ada hal yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Bye semuanya.”
Dengan tas di pikul di sisi kanan, aku meninggalkan mereka. Kulihat layar ponsel dan sebuah tulisan menyemangatiku.
“Aku berada di jalur evakuasi lantai 2. Aku kangen banget ma kamu. G.S.”
Aku membuka pintu darurat dan kulihat Gita dengan baju terusan rok pendek bermotif menyandarkan diri di pojok tembok. Kulemparkan tasku ke lantai dan memeluk mencumbunya ganas.
“Pelan – Pelan, Grha.” Katanya sembari membalas cumbuanku padanya.
Ia melepas kancing pakaianku.
“Aku kangen bau badan kamu.”
Aku remas pantatnya yang beberapa waktu tidak aku sentuh.
“Aaakkkhhhh…..nakal sukanya remesin pantat.”
Tangan Gita dengan cekatan membuka gesper sabuk dan restleting celanaku. Ia menggenggam kontolku yang setengah tegang dan mengocoknya.
“Punya kamu dimasukkin yah? Aku udah gak tahan.”
Ia melingkarkan tangannya di badanku. Aku naikkan roknya. Ia sudah tidak memakai CD.
“Buruan masukkin.”
Aku memasukkannya. Walau agak kering, kupaksakan agar basah sendirinya. Aku menciumnya agar tidak berisik. Dalam posisi berdiri, aku melakukan penetrasi ke memeknya. Aku memacunya seperti orang kesetanan. Tidak peduli dengan apapun, hanya mengejar kenikmatan yang sebentar lagi kurengkuh.
“Grha…aku mau keluar…”
“Aku juga, Git…barengan…”
Pinggulku naik turun dengan cepat dan, aku berhenti bergerak ketika nikmat itu telah kucapai.
“Eeeeeennnnggghhhhh…….Gita.”
“Oooooocccchhh……Grha.”
Kami orgasme bersamaan. Dunia berhenti bagi kami. Tubuh kami bersandar di tembok melepas lelah yang sangat.
Aku mencabut kontolku yang bermandikan pejuh dan cairan dari Gita. Memek Gita berlumuran lendir. Ia jongkok dan membersihkan kontolku.
Sesegera mungkin kami membereskan diri dan segera pergi dari tempat itu.
“Makasih ya udah muasin aku lagi, Gita.”
“Aku juga dipuasin sama kamu.”
“Kita pisah disini ‘kan?”
“Iya, seperti kata kamu infotainment itu jahat.”
“You became the meaning of my life.”
“Baby, you should paint my love.”
Aku berpisah dengan Gita. Malam ini, aku sangat bahagia bisa bertemu dengannya. Aku kembali ke teman – temanku.
“Kau pergi kemana? Kau sepertinya kelelahan.” Tanya Awan.
“Aku bertemu dengan temanku. Aku terburu – buru kembali disini karena kalian.”
“Teman? Kami tidak percaya?” Musa melihatku tajam.
“Terserah, kalian mau percaya atau tidak. Mbak, tolong menu.” Aku memanggil waitress memesan minuman dingin.
Aku melewatkan hari – hari seperti biasa. Walau terkadang, aku terbayang peristiwa yang kualami bersama Gita.
Hari libur telah tiba, aku mengistirahatkan diri di rumah. Teringat undangan yang diberikan Awan. Kulihat waktunya pada hari ini. Sedikit mengenal lingkungan luar kerja mengapa tidak?. Aku menuju ke tempat acara itu diadakan.
Sebuah taman bermain air di dekat kawasan industri gabungan. Ugh, aku sedikit tidak nyaman bila bertemu dengan air. Aku sedikit phobia dengan air. Tidak dengan wujudnya. Namun, aku mengalami trauma dengan sesuatu yang berhubungan dengan air yang tidak akan aku jelaskan. Aku mencari Awan disana. Syukurlah, aku bisa menemukannya.
“Hei, Grha. Kupikir kau tidak akan datang.”
“Awalnya, tapi di rumah juga tidak membunuh kebosananku.”
“Baiklah, silahkan nikmati acara ini.”
Tidak ada yang bisa menarik perhatianku. Pandanganku hanya melihat orang – orang yang gembira bermain air. Ada satu dua wajah yang menarik mataku untuk dipandang.
Sebuah panggung berdiri di tepi kolam. Sekumpulan orang bermain instrumen musik dan menyajikan live music di tempat ini memeriahkan suasana. Aku berada jauh di seberangnya menikmati makanan dan minuman.
“Hei, kau melamun saja?” Awan muncul entah dari mana.
“Dimana Musa? Aku tidak melihatnya.”
“Mungkin, ia terlambat atau ada urusan. Kau tahu kesibukan wirausahawan.”
“Hahaha….bisa saja itu terjadi.”
“Mau lihat Zaskia Gotik? Sebentar dia naik panggung. Mendekatlah bila perlu.”
“Kau tidak kesana?”
“Istriku seorang pencemburu berat.”
“Halah, orang sepertimu dicemburuin. Sia – sia istrimu itu.”
“Kau juga. Biar begini, aku ngehasilin anak. Lha kamu? Kebuang di kamar mandi.”
“Tak perlu membahas itu.”

Aku mengambil sebuah gelas berisi minuman dan mendekati panggung.
Sesosok perempuan naik panggung. Rambut hitam panjangnya tergelung terjuntai rapi. Dengan pakaian ala pantai, ia mengajak penonton untuk menyanyi bersamanya. Jadi, dia adalah rival dari Sibad. Seorang pedangdut yang memiliki goyang khas binatang yang diusungnya. Pantas saja, ia merasa tersaingi. Sempat terjadi kontak mata beberapa kali, dan salah tingkah terlihat di mataku. Lagu yang didendangkannya tidak terlalu aku ketahui. Hanya di lirik – lirik tertentu menjadi ciri khas lagu ini dibawakan olehnya.
Mataku terpuaskan oleh penampilannya saat itu. Tidak sia – sia aku berada disini. Walaupun, sebelumnya akan membosankan. Awan menghampiriku bersama istrinya.
“Pah, lajang satu ini bagaimana?”
“Mungkin dia lagi bayangin sesuatu.”
“Ah, Awan. Jangan mempermalukanku di depan keluargamu.”
“Yaudah, Pah. Aku kesana. Ajak ngobrol gih.”
Istri Awan meninggalkan kami.
“Kamu mau ke backstage? Aku temenin kamu.”
“Bilang aja kamu mau ketemu Zaskia.”
“Iya, kebetulan aku juga akan menyelesaikan administrasi dengannya.”
“Baiklah, aku akan menemanimu.”
“Siapa sekarang yang bersemangat?”
Kami menuju backstage. Awan dan Manager Zaskia pindah tempat untuk menyelesaikan administrasi. Sementara, aku ditinggalkan bersama Zaskia.
“Hai, Zaskia.” Kataku memulai obrolan.
“Iya. Hai.”
Aku bingung untuk memulai obrolan. Aku menatapnya dalam kebingungan yang tergambar di raut wajahku.
“Cuma itu aja?”
“Ah, maaf aku bukan seseorang yang pandai berbahasa di depan wanita.”
“Kalau begitu, bisa aku mengenalmu?”
“Oiya, namaku Grha.”
“Nama yang jarang dipakai. Tadi temanmu?”
“Iya. Aku temannya tapi beda perusahaan.”
“Oh begitu.”
“Iya. Ngomong – omong, penampilan kamu tadi bagus. Aku sampai melihatmu terus.”
“Iya makasih. Kamu juga tadi liatin aku sampai akunya salah tingkah.”
“Maaf kalo begitu.”
“Gak apa – apa koq.”
Kami berbincang singkat dan Awan telah menyelesaikan urusannya. Kami pergi dari backstage.
“Gimana tadi? Dapet nomornya?”
“Nomor apaan? Nomor sepatu?”
“Yahhh….gimana sih. Aku kan ngasih kesempatan ma kamu buat deketan ma dia.”
“Mungkin aku kurang pandai.”
“Kau menyia – nyiakan kesempatan emas.”
“Udah lewat juga ‘kan?”
“Nikmatin aja yang masih ada. Kan masih ada cewe lain disini.”
Aku kembali menikmati hiburan yang ada. Tidak lama, aku langsung meninggalkan tempat tersebut. Hari yang kurang baik bagiku.
Di rumah, pikiranku tidak lepas dari Zaskia. Pertemuan singkat itu berkesan mendalam. Sial, aku tidak mendapatkan kontaknya. Terpaksa, aku hanya dapat membayangkannya.
Beberapa hari berlalu seperti biasa. Tidak ada kontak dengan Sibad dan Gita. Tentu, aku lebih memilih Gita. She’s too cute. Walaupun dengan Sibad aku pun tidak menolaknya.
Bhumi menghubungiku lewat telepon.
“Hey, My Fuelman, whazzup!”
“Ah, Bhumi.”
“Not Bhumi. Ibum.”
“Yeah yeah Ibum.”
“Bagaimana lukamu kemarin?”
“Sudah sembuh. Sudah lama tidak mendengar kabarmu. Dimana kau berada?”
“Aku sudah beberapa lama di Bandung. Urusan keluarga besar tentang kekasihku.”
“Oh, maaf. Ada yang dapat kubantu?”
“Bawa mobilku ke ITC Cempaka Putih. Disana, akan ada yang menemuimu.”
“Sesimple itukah? Jangan kau menjebakku dengan transaksi obat terlarang.”
“Tidak. Tidak. Kau hanya tinggal melakukan pengantaran. Pembayaran telah kuterima sebelumnya.”
“Baiklah. Aku lepas resiko jika mobil ini tidak sampai pada orangnya.”
“Iya iya. Aku terima itu. Pergilah ke parkiran apartemen Centerpoint. Mobilku berada disana.”
“Aku akan mengantarnya besok.”
“Sebaiknya kau mengantarnya malam hari. Pembayaranmu bagaimana?”
“Itu nanti saja. Baiklah.”
Mengantar mobil? Semoga baik – baik saja nantinya.
Keesokan harinya, aku mengantarnya langsung ke tempat yang dituju. Sebuah pelataran sepi di samping ITC Cempaka Putih. Seseorang berdiri disana keluar dari mobil. Ia menghampiriku,
“Utusan Bhumi?” Tanya orang itu.
“Iya. Aku orangnya Bhumi.”
“Kalau begitu, ayo ikut denganku.”
Ia berjalan menuju mobilnya dan melaju. Aku mengikutinya hingga ke sebuah tempat. Tertulis Apartemen Casablanca. Orang itu keluar dan kembali menghampiriku.
“Mobilmu biarkan saja terparkir disini. Biar anak buahku yang mengurusnya.”
Aku meninggalkan mobil dan bersamanya menuju lantai 6. Kami berjalan menuju sebuah kamar.
“Kau bisa masuk ke dalam. Aku tidak akan menemani.”
Alangkah terkejutnya ketika aku melihat seseorang yang aku tahu. Manajer Zaskia dan Zaskia sendiri.
“Tunggu, bukankah engkau adalah teman Awan?” Tanya manajer Zaskia.
“Iya. Aku adalah teman Awan. Kebetulan Bhumi adalah temanku juga.”
“Dunia cukup sempit. Jadi, aku tidak perlu meragukanmu.”
“Terima kasih.”
Aku menyerahkan surat – surat dan kunci mobil kepadanya. Zaskia hanya terdiam dibelakangnya.
“Terima kasih telah mengantar pesanan mobil milik Zaskia.”
“Mobil Zaskia?”
“Maafkan aku sebelumnya melakukan pertemuan dengan cara seperti ini. Hal ini dilakukan karena Zaskia adalah Public Figure yang terkenal. Setiap tindakannya akan menjadi konsumsi media.”
“Tidak apa jika itu yang diperlukan.”
Zaskia berbisik kepada Manajernya.
“Anda ada kesibukan malam ini?”
“Aku langsung menuju ke rumah.”
“Bolehkah saya meminta sesuatu? Nona Zaskia ingin mencoba mobil yang anda kendarai tadi bersamanya. Anda bersedia?”
“Boleh saja hal itu dilakukan. Asal, aku tidak dibuntuti oleh anak buah anda.”
“Tentu tidak. Nona Zaskia meminta khusus agar kami tidak mengikutinya. Saya sudah pernah bertemu anda dan anda sepertinya orang baik.”

Zaskia beranjak dari tempatnya. Menggamit tanganku tanpa berkata. Kami berdua menuju lift.
“Aku tidak menyangka akhirnya kita dapat bertemu lagi. Sungguh suatu kebetulan yang menyenangkan.” Katanya setelah di dalam lift.
“Aku juga senang bertemu denganmu.”
“Denganmu? Panggil aku dengan Nona.” Katanya ia menggenggam kerah bajuku.
“Panggil aku nona. Kau mengerti?”
“Iya, mengerti, Nona.”
“Sebagai hukumannya, kau harus merasakan ini.”
Tangan kanannya meraba bagian depan celanaku dan diremasnya kontol dan zakarku dengan keras.
“Bagaimana? Sakit?”
“Iya, sakit. Ampun.”
Ia mengendurkannya dan melepaskannya. Sial, kasar sekali remasannya hingga membuat kontolku sakit. Dibalik keanggunannya, tersimpan sikap liar yang membahayakan lelaki.
Kami sampai di mobil dan memasukinya. Zaskia duduk di belakang tengah dengan gaya angkuhnya. Pakaiannya tidak mampu menyembunyikan paha mulus putihnya. Aku sekilas melihatnya.
“Kamu lihat apa?”
“Tidak, aku tidak melihat apa – apa.”
Ia mencekik leherku dengan melingkarkan tangannya dari belakang kursi.
“Ohk…ohok…ohok….ohk…”
“Kau lihat apa tadi.”
“Iya iya aku melihat pahamu tadi.”
Dilepasnya dan kembali ke sikap angkuhnya.
Aku membenarkan kaca belakang yang berada di kiri atasku. Terlihat tatapan mata Zaskia yang tajam, aku terburu – buru mengaturnya dan mengarah ke pahanya yang dibuka menampakkan CD pink yang dipakainya. Aku mengembalikannya lagi ke posisi semula.
“Tadi kamu liat apa lagi?” Nadanya kini terdengar menyeramkan.
Dipuntirnya puting dadaku hingga robek bajuku. Bekas merah terlihat jelas.
“Maaf aku tidak sengaja melihat belahan pahamu itu.”
Ia berpindah ke kursi depan.
“Aku ingin berjalan – jalan dengan mobil ini. Kuharap kau mengendarainya dengan nyaman.”
“Ba..Baiklah.”
Aku menyetir tanpa ada tujuan mengelilingi kota Jakarta. Sepanjang perjalanan, aku tidak berani melirik ke arah Zaskia. Walau, ia kadang bertindak seksi untuk memancingku melihatnya. Aku tidak tahan bila harus dianiayanya.
“Berhenti disana.”
Aku memberhentikan mobilku.
“Aku tanya sekali lagi, kau melihatku tadi?”
“Aku tidak melihatmu tadi.”
“Bohong, kau tidak melihatku tadi.”
Aku keluar dari mobil dan membuka pintu mobil Zaskia. Kutarik paksa tubuhnya keluar.
“Keluar!.”
“Kau mau kemana?”
Aku membuka pintu belakang dan merebahkannya di kursi belakang.
“Kau tahu aku siapa?”
“Ya. Aku tahu kau Zaskia Gotik. Terus kenapa?”
“Kau bisa kupolisikan dengan kasus penganiayaan.”
“Penganiayaan? Silahkan saja. Aku akan beritahu apa itu penganiayaan.”
Aku membuka gesper sabuk dan mengikatkan pada tangannya. Kurobek pakaianku dan kujadikannya tali untuk mulutnya.
“Kamu itu berisik banget. Aku sudah ingin mengantarmu mengelilingi kota. Namun, kamu menuduhku yang tidak – tidak.”
Aku dalam keadaan marah saat ini tidak dapat mengontrol emosiku. Tanganku menampar mukanya berulang – ulang hingga kemerahan. Riasan wajahnya kini luntur terkena air mata yang mengalir. Aku terpuaskan dengan kondisi seperti ini.
“Kau ingin aku antar kemana?”
Ia tidak menjawabnya. Hanya tangisan yang masih keluar darinya.
“Aku tanya sekali lagi. Kau mau aku antar kemana?”
Aku menamparnya lagi. Dia masih tidak menjawab. Inisiatifku membawanya menuju apartement centerpoint yang kini dititipkan Bhumi kepadaku.
Aku menutupnya dengan jaketku membawanya menuju kamar.
Aku jatuhkan dirinya di lantai. Aku melepas talinya dan gesperku. Sekarang, ia nampak bergidik ngeri melihatku. Ia hanya bisa ngesot (bahasa yang sulit kutemukan padanannya di KBBI) saat aku mendekatinya.
“Siapa yang kamu lihat sekarang, hah?”
Kataku menggertaknya. Ia mundur perlahan dan menggelengkan kepalanya. Aku mengulangi gertakanku hingga ia terpojok. Kuayunkan gesperku dan memecut udara disampingnya. Ia merinding ketakutan ketika aku membuka kaos dan bertelanjang dada. Ia tidak mampu melihatku walau sejenak.
“Sekarang siapa yang takut?”
Aku menjauh dan kembali memakai kaosku. Tidak lupa kusiapkan air di kamar mandi dan peralatan mandi.
Aku menolongnya untuk bangkit. Walau awalnya menolak, ia berhasil aku giring menuju bathtub. Teringat moment romantis bersama Gita di Bathtub tersebut.
“Kamu bisa mandi sendiri ‘kan?” Tanyaku langsung bergegas keluar kamar mandi. Ditariknya lenganku agar tidak pergi. Aku memenuhi Bathtub dengan sabun dan membusakannya agar tidak terlalu memperlihatkan tubuh telanjangnya. Setelah itu, kukeramasi rambutnya dan dibilas.
“Kau sudah melepaskan pakaianmu?”
Ia menggeleng dan menuntun tanganku masuk ke bathtub. Aku melepaskannya dan menaruhnya di luar bathtub.
“Kau bisa mandi sekarang. Kali ini, tidak ada bantuan dariku. Handuk ada di sana dan aku sedang mencari pakaian untukmu.”
Keluar kamar mandi, aku mencari pakaian yang bisa dipakai. Tak kutemukan apapun. Aku mengambil sebuah kemeja lengan panjang yang kebesaran untukku. Ia keluar dari kamar mandi dengan handuk
“Kau bisa memakai kemeja ini. Aku akan menyiapkan makanan.”
Kami berdua duduk di meja makan saling berhadapan.
“Silahkan makan. Kau belum berbicara sepatah kata apapun.”
“Aku takut kamu.”
“Takut? Tidak perlu kau takut. Yang kau takutkan adalah kau tidak makan. Lagipula, aku melakukan tadi kesal karena ulahmu. Bisakah kau bersikap lunak padaku? Kau tidak bisa sembarangan melecehkanku.”
“Pikiranku terhadapmu benar sejak awal.”
“Maksudmu?”
“Sejak pertemuan terakhir, kau menyimpan sesuatu hal yang tidak bisa kujelaskan. Begitu menarikku.”
“Berarti kau merencanakan ini semua?”
“Tidak. Aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu. Jadi, aku tidak perlu repot – repot mencarimu.”
“Mengapa kau mencariku?”
“Kau bisa menjadi partner sex yang menarik.”
Ia berdiri dan mengajakku ke sofa. Ia berubah 180 derajat jadi seorang pemalu menjadi liar. Ia duduk disampingku menggodaku.
“Tatapan mata kamu seolah – olah ingin mengajakku bercinta ataupun membunuhku. Begitu kuat auramu.”
Ia bersimpuh dan membuka pahaku lebar.
“Aku tahu kau menikmati goyanganku saat itu. Aku akan memberimu sesuatu yang menggodamu.”
Ia mulai bergoyang yang menjadi ciri khasnya. Pantatnya yang tertutup kemeja bergerak di dekat bagian depan celanaku dan menyerempet kontolku yang masih terbungkus celana. Dan, ia menempelkannya di celanaku. Menggoyangnya dengan penuh gairah. Kemudian, ia memaksaku melepaskan celana hingga kontolku terlihat menegang di depannya. Digoyangnya lagi dengan pantatnya. Diangkat perlahan kemejanya hingga pantat tanpa CD itu terpampang jelas. Pantatnya meninju kontolku yang tegang. Ia berbalik dan menendang kontolku dengan kakinya.
“Aaauuuuwwwww……….sssss……apa yang kau lakukan?”
Ia mencengkram kontolku dengan kasar.
“Sedikit balas dendam tidak apa untukmu bukan? Ini akibatnya kau menganiayaku tadi.”
Ditampar, ditarik dan diremasnya zakarku. Kenikmatan macam apa ini? Sakit namun nikmatnya tidak dapat kugambarkan. Ia melakukan tindakan abusif dengan kontolku.
“Kontol apa ini? Jelek bentuknya. Bengkok lagi.”
Ia meluruskannya dengan paksa. Nyeri terasa di kepalaku.
“Warnanya gak banget lagi.”
Ditamparnya dan ditinjunya hingga aku bingung antara lemas dan tegang.
“Gak pantes nih ngacengnya. Masih ngacengan ulekan gue.”
Diurut – urutnya kontolku. Diludahinya dengan kasar.
“Barang gini diludahin aja. Gak bakal kepake.”
Dikocoknya beberapa saat. Dari pelan hingga cepat. Ke kanan ke kiri.
“Ah, kontol apaan nih. Gak bisa ngecrot yah? Dasar lemah syahwat.”
Ejekannya membuat telingaku panas. Aku terlalu lelah menghadapinya. Ia terus mengocokku. Pinggulku tertarik ke atas. Kontolku berkedut meletuskan pejuh ke atas.
“Siapa yang suruh ngecrot? Gue belum selesai udah ngecrot aja. Pejuh lu gak kepake jadinya. Mau gue isep tadinya.”
Ia kembali menganiaya kontolku. Puncaknya, kontolku digigitnya hingga aku hilang kesadaran.
Aku terbangun oleh sinar mentari. Tirai apartemen masih terbuka. Meski tidak terasa sakit lagi, pikiranku masih membayangkan sakitnya digigit di kontolku olehnya. Ia tidak berada disini. Huft…sial, dia mendapatkan kepuasan seksual dengan rasa sakit.
Gara – gara kejadian itu, aku kurang bergairah selama beberapa hari. Meski, Gita menggodaku dengan mengirim foto telanjangnya tetap saja tidak seperti biasanya.
Di kantor, pada hari kerja seperti biasanya. Sebuah panggilan di ponselku bertuliskan “private number”. Sangat malas apabila orang menghubungiku dengan nomor ini. Aku menjawabnya.
“Halo.”
“Halo, kau mengenal suaraku?” Suara wanita terdengar.
“Aku mengenal suaramu.”
“Bagaimana hari – harimu?”
“Cukup terganggu setelah kau lakukan itu. Bagaimana kau mendapatkan nomor ponselku?”
“Aku tidak perlu memberitahumu.”
Aku teringat jika ponselku tidak kuberi password.
“Baiklah. Sekarang apa maumu?”
“Mauku? Kau tahu kau telah melakukan perbuatan tidak menyenangkan kepadaku. Seperti di awal, aku bisa melaporkan ke polisi.”
“Baiklah, baiklah, aku melakukannya karena aku kesal kepadamu.”
“Tidak ada alasan itu. Aku bisa melaporkanmu.”
“Jadi, ini adalah upaya untuk menjebakku?”
“Tidak. Aku tidak menjebakmu. Aku ingin mengajakmu mengikuti permainan yang kujalani.”
“Permainan apa yang kau lakukan?”
“Kau terlalu banyak bicara untuk seorang laki – laki. Ikuti apa kataku dan kita bisa berkompromi.”
“Sepertinya aku tidak punya pilihan lagi, Nona Zaskia.”
“Aku akan menghubungimu nanti.”
Panggilan terputus dengan keras. Aku berkenalan dengan artis yang berwatak keras. Tidak seperti artis perempuan biasanya. Semoga ia tidak menghubungiku pada hari kerja.
Hari kerja terus berlanjut ke hari libur. Jika ia tidak menghubungiku, berarti aku sudah tidak ada masalah dengannya.

Hari sabtu pagi, selesai membersihkan tubuh. Panggilan “private number” terulang.
“Halo.”
“Kita bertemu di Metropolitan Mall Bekasi malam ini. Cari mobil yang sama tempo hari.”
Hal yang aku inginkan tidak terjadi. Di Metmall, kulihat mobilnya di parkiran. Ia sendirian dengan penampilannya yang full make up dan sikap angkuhnya.
“Lama banget.” Singkatnya.
“Jalanan tidak bersahabat.”
“Kita tidak perlu membuang waktu disini. Ikut denganku sekarang. Aku yang akan menyetir.”
Aku duduk didepan. Ia memberiku sebuah kain dan penutup kepala.
“Pakai kain ini untuk tutup mata kamu. Dan, tutup kepala pada kepalamu.”
Apa yang akan dia lakukan kepadaku?. Aku menuruti perintahnya dan tidak tahu dibawa ke mana.
Dengan kepala tertutup, aku digiring menuju sebuah tempat yang tidak aku kenal. Ia melepaskan penutup kepala. Sebuah ruangan segi empat yang bernuansa kelam. Ada sebuah sofa, matras dan sebuah almari. Sebuah kursi kayu di tengah ruangan menempel tembok.
Zaskia duduk di sofa dengan santai.
“Lepas pakaianmu.”
Aku melepas pakaianku hingga telanjang bulat. Ia melihatku dengan tatapan yang siap menerkam.
“Bagus, kontolmu sudah ngaceng rupanya. Kamu pasti bernafsu kepadaku.”
Ditangannya, ia memegang sebuah alat yang tidak aku mengerti. Ia menyimpuh dan memasang alat itu ke kontol dan zakarku dan mengikatnya kencang hingga kontolku mendongak. Zakarku pun terikat hingga menegang.
“Duduk di kursi kayu.”
Kemudian, ia memakaikan masker yang terbuat dari latex yang hanya menyisakan ruang mata, mulut, dan lubang untuk hidung. Ia menggenggam sebuah tongkat kecil berumbai tali. Mungkin sebuah cambuk.
“Kamu panggil aku Nona Zas.”
“Baik, Nona.”
“Kamu harus menuruti perintahku.”
“Baik, Nona.”
Kontolku dipaksa menegang dengan alat tersebut. Tersiksa dengan keadaan seperti ini.
“Kamu itu sudah membuatku takut. Aku akan membuatmu patuh kepadaku.”
Dilayangkannya tongkat itu ke kontolku dengan tempo yang tidak beraturan. Rumbai tali itu mengenai kontolku dengan sakit.
“Rasakan ini.”
Aku hanya dapat menahan nyeri. Walaupun ada perasaan nikmat yang tidak aku mengerti. Setiap kali cambukan, aku mengaduh kesakitan, ia menikmatinya. Aku ingin berejakulasi. Namun, susah sekali kulakukan.
Ia mengikat sebuah tali di leherku. Dan memasangkan sebuah jepitan di putingku. Ia mempertontonkan payudaranya dari balik bajunya. Ia menggodaku dengan payudaranya yang seksi dengan aerola coklat melingkar di sekitar putingnya.
“Kamu tengkurap di sofa. Dan jangan melihat ke belakang. Aku akan mengikat kontolmu hingga berdarah jika kau tidak mematuhinya.”
Aku tengkurap. Tanpa aba – aba, ia memasukan benda asing di pantatku. Kulihat sejenak, ia memakai kontol buatan yang menancap di depannya.
Kini, ia menyodomiku dengan alatnya itu.
“Gimana rasanya? Aku tunjukkin gimana rasa takut itu bikin patuh.”
“I-iya Nona. Ampun. Sakit pantat saya.”
Ia mempercepat sodokannya. Perutku sakit setiap ia menyodoknya. Ia tidak memperdulikanku dan tetap menyodokku.
“Nona, aku tidak kuat lagi.”
Ia membalikkan badanku dan kulihat sosok yang berbeda dari Zaskia. Dengan masih menyodok pantatku, ia melepaskan alat di kontolku. Dipegangnya sambil dikocoknya pelan.
“Ssssshhh…….aaaaaaacccchhhhh……..ssssshhhhh …….aaaaaaaccccchhhhh….”
Perasaan nikmat ini tidak dapat aku mengerti. Nikmat yang tidak tergambarkan. Kepatuhan yang membuat sensasi berbeda. Hingga aku mulai mencapai titik lemahku.
“Nona, aku mau keluar….”
Ditambahnya ritme sodokan dan kocokan. Aku menggeram nikmat, kontolku memuntahkan isinya entah kemana. Hanya tersisa sedikit yang berada di badanku.
“Pejuhmu semburannya kaya peluru. Tidak keliatan, tapi sampai di tempat.”
Belum habis aku kelelahan, ia menarikku ke matras. Ia melepaskan kontol buatannya. Memek yang tertutup bulu yang tercukur rapi.
Ia berjongkok dan menutup mukaku dengan pantatnya.
“Jilatin bool punyaku.”
Dengan terpaksa, aku menjilatnya. Tidak ada rasa jijik sekalipun. Kurasakan lubang ini seperti memek pada umumnya. Entah karena ia membersihkannya atau aku sedang berada di dalam tekanan.
Lidahku membasahi setiap sisinya. Zaskia sendiri sampai mendorong pantatnya.
“Aaaaaaaahhhh…………….oooooooccccchhhhhh… …………….hhhhhhhmmmmmmm…………ssssssss hhhhhhhhh”
Ia mengangkatnya. Refleks, aku berusaha menggapainya dengan lidah.
“Siapa yang ketagihan sekarang? Sekarang isap lagi piaraanku.”
Ia memanggilku dengan piaraannya. Aku tidak peduli, hanya berusaha menikmati lubang pantat Zaskia. Ia mengerang dan mengangkat pantatnya.
“Ah, aku mau pipis……”
Ia mengarahkan memeknya ke mukaku. Dia benar – benar mengencingiku. Bau pesing urine mengucur dimukaku.
Puas mengencingiku, ia mengusapkan memeknya dimulutku.
“Bersihin buruan.” Katanya sambil menjambak rambutku.
Aku menjilat – jilat memeknya seperti anjing piaraan. Perasaan ini membuatku bergairah. Kupegangi pahanya dan terus melahap memeknya dengan rakus.
Zaskia melihat kontolku yang kembali menegang. Ia berdiri melihatku yang terlentang.
“Piaraanku udah ngaceng lagi.”
Dengan memakai jari kakinya, ia mengurut kontolku dengan malas meski ia lihai memainkan kakinya di kontolku. Mungkin ia harus tetap angkuh sambil menikmatinya.
Diinjaknya dan ditendangnya kontolku. Berbagai siksaan kontolku dilakukan dengan kakinya. Aku terkapar melihat aksinya. Aku sudah pasrah akan tubuhku. Terserah apa yang akan dilakukannya.
Ia mengulum dan mengisap kontolku tanpa basa – basi. Dikulumnya hingga memenuhi mulutnya dan dihisapnya hingga pipinya tirus.
Hisapannya membuatku menggelinjang menahannya. Seperti sari kehidupanku dihisapnya hingga habis. Dengan paha, aku menjepit kepalanya dan kukeluarkan pejuhku di dalam mulutnya. Ia mencoba menarik kepalanya, namun aku tidak melepaskannya. Batuk kecil terdengar dan pejuhku mengalir lewat hidungnya menetes di badanku.
Aku melemas dan kulepaskan dekapanku. Kembali terkulai dengan telanjang bulat. Zaskia berdiri dan meludah ke mukaku.
“Sialan lu, kepala gw gak dilepasin. Lu kira pejuh lu enak? Ampe gw keselek juga.”
Aku mengabaikan itu dan aku beristirahat memejamkan mata mengistirahatkan badanku. 2 kali aku menyemburkan pejuhku.
Terbangun, wajahku dihimpit oleh payudara Zaskia.
“Sayang, bangun dunk. Aku mau ada acara. Temenin gih. Nyusu dulu biar semangat.”
Ia mengarahkan putingnya ke mulutku dan aku menyusu Zaskia. Nikmat dunia aku bisa menyusunya seperti bayi.
“Sayang pasti kelaperan. Nih, yang kanan udah dikasih madu.”
Ia melumuri aerola payudara kanannya dengan madu. Aku berpindah, namun, masih kumainkan puting kirinya dengan jemariku. Kali ini lebih nikmat. Aku menyusunya dengan beringas. Kugigit mesra putingnya kemudian ku jilat – jilat.
“Ouch…sayang nyusunya pelan – pelan. Gak kemana – mana koq susunya.”
Aku puas menyusui payudara Zaskia. Kuhimpitkan payudaranya ke tengah dan mempertemukan kedua putingnya. Kurangsang dengan kuluman dan hisapan.
“Ooooohhhhh……..uuuuuuuuccccHhhhh…….tau banget sih, sayang. Enak banget ni.”
Setelah beberapa saat, kami berdua bangun dari matras karena Zaskia ada acara. Kami membersihkan diri. Aku melihatnya berdandan. Ia sungguh cantik. Kecantikannya membuatku memunculkan imajinasi liar dalam benakku.
“Hari ini kamu temenin aku ke Mall. Aku perlu belanja beberapa barang. Dan setelah itu, aku ada show off air. Kamu keberatan?” Tanyanya.
“Tidak, aku tidak keberatan.”
Ia bangkit dan menciumku. Sontak, aku membalasnya. Bibir kami saling berpagutan, aku memeluk pinggangnya. Sementara, ia sibuk melepaskan kancing dan restleting celana. Dikeluarkannya kontolku. Aku menurunkan leggingnya hingga kelihatan CDnya. Ia mengocok kontolku sambil berciuman.
“Bilang yah kalo mau keluar.”
“Iyah.”
Kami kembali berciuman dalam posisi berdiri. Aku melepaskan CD dan berniat melakukan penetrasi ke memeknya.
“Jangan dulu. Aku belum mau melakukan itu.”
Aku kembali menaikkan CDnya.
“Zas, bentar lagi….”
Ia menurunkan CDnya sebagian. Aku mengocok kontolku dekat dengan memeknya. Pejuhku mengalir membasahi CD dan memeknya.
“Berangkat yuk.”
“Tapi, CD kamu…”
“Gapapa, emang aku pengennya kaya gini.”
,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,

Related posts